Wednesday

Pengendalian dengan menggunakan feromon serangga


Feromon adalah bahan kimia yang dikeluarkan dari tubuh serangga dan spesies lainnya untuk tujuan komunikasi. Sinyal kimia feromon ini bisa terbawa oleh angin hingga jarak jauh. Semasa hidup serangga, mereka sangat bergantung pada  feromon ini untuk mencari makanan, kawin, persaingan dan menghindari predator.  
Manusia telah mempelajari feromon serangga selama beberapa abad terakhir, dan membuat terobosan ilmiah yang  memungkinkan feromon serangga ini  menjadi sumber yang dapat dipercaya dan ramah lingkungan sebagai sumber pengelolaan hama. Selain untuk menarik pasangan untuk tujuan reproduksi, feromon juga digunakan oleh serangga untuk tujuan mencari makanan. Semut meninggalkan jejak feromon di belakang mereka untuk menunjukkan jalan kepada semut lain menuju sumber makanan. Ratu lebah memancarkan feromon untuk mempertahankan dominasinya di atas sarang dengan menekan perkembangan semua indung telur pada  lebah pekerja dan membujuk mereka untuk bekerja untuk ratu. Serangga menggunakan feromon sebagai sistem alarm tanda bahaya, mengingatkan serangga lain akan adanya bahaya. Feromon serangga juga dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan serangga hama baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu digunakan dalam hal: pemantauan serangga hama (monitoring), perangkap massal (mass trapping), pengganggu perkawinan (matting distruption), maupun kombinasi antara feromon sebagai atraktan dengan insektisida atau patogen serangga sebagai pembunuh (attracticide).
Dan contoh nyata pengendalian hama dengan penggunaan feromon adalah Feromon-exi, produk feromon seks yang khusus diperuntukkan untuk mengendalikan ulat bawang (Spodoptera exigua), sukses diujicobakan di beberapa tempat di tanah air. Lokasi ujicoba tersebut adalah Cirebon (meliputi areal 25 hektar), Brebes (meliputi areal 25 hektar), Nganjuk (meliputi areal 30 hektar), Medan, Samosir dan Bali. Kajian terhadap teknologi pengendalian ulat bawang menggunakan feromon ini dilakukan oleh Dr I Made Samudra, peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen, dan telah menginjak tahun ketiga.
Sukses aplikasi pengendalian hama ulat bawang ini diawali pada percobaan yang telah dilakukan tahun lalu di Desa Limbangan Kulon,Kecamatan Brebes dengan luas areal percobaan 1 hektar. Kemudian Menteri Pertanian menginstruksikan untuk diujicobakan dalam skala yang lebih luas.
Feromon seks mulai diaplikasikan saat tanaman berumur satu minggu, untuk selanjutnya pemasangan kedua dilakukan saat tanaman berumur 27 hari. Perangkap feromon berupa stoples plastik yang dirancang khusus, di mana di bagian atas digantungkan senyawa feromon seks dan pada bagian bawahnya diiisi dengan air sabun. Perangkap feromon ditempatkan pada pinggiran tanaman bawang, secara acak dan berjarak 15 m dari masing-masing perangkap. Perangkap feromon ditempatkan pada ketinggian 30 cm di atas permukaan tanah. Hasil percobaan di lapang menunjukkan bahwa tanaman bawang yang tidak diperlakukan dengan feromon seks membutuhkan penyemprotan insektisida sebanyak 12 kali (untuk mengendalikan ulat bawang) dan 3 kali (untuk mengendalikan Grandong). Hal ini berarti setiap 2 hari sekali harus dilakukan penyemprotan untuk mengendalikan hama pada tanaman bawang.
Sementara itu tanaman bawang yang diperlakukan dengan feromon seks hanya disemprot sebanyak 3 kali (untuk mengendalikan ulat bawang) dan 3 kali (untuk mengendalikan Grandong). Dalam hal ini penyemprotan kedua dilakukan karena saat percobaan dilakukan terjadi serangan Grandong di pertanaman bawang. Rata-rata dalam semalam tidak kurang dari 200-an serangga jantan dapat terperangkap di dalam perangkap feromon.

No comments:

Translate