Sunday

Pengujian Lokasi Patogen dan Penlaran Patogen Terbawa Benih


Salah satu faktor penyebab kurang maksimalnya produksi suatu  komoditas pertanian yaitu karena adanya penggunaan benih  yang tidak bermutu. Diantaranya  faktor yang menentukan mutu benih adalah kesehatan benih yang ditentukan oleh ada atau tidaknya mikroorganisme terbawa benih, seperti cendawan, nematoda, bakteri, atau virus (Badan Karantina.2002). Benih yang sehat sangat penting dalam produksi tanaman pertanian karena benih merupakan titik awal untuk mendapatkan tanaman yang sehat.  
Oleh karena itu agar benih terhindar dari kontaminan dan patogen maka pentingya pengetahuan lokasi patogen yang terdapat pada benih, dan cara penularan patogen terbawa menih. Patogen dalam benih dapat berada pada kulit biji, kotiledon, dan embrio. Pada praktikum pengujian lokasi patogen terbawa benih dilakukan pada dua komoditas yaitu kedelai dan kacang tanah. Pada kulit biji patogen yangmendominasi biasanya dari golongan cendawan sedangakan golongan virus biasanya terdapat pada embrio. Penularan patogen terbawa benih uga dapat dilakukan dengan menginokulasikan patogen tersebut pada tanaman indikator. Kemudian tanaman yang diinokulasi setelah diinkubasi akan menunjukan gejala.  
Pengujian patogen terbawa benih pertama benih di cuci baik kedelai maupun kacang tanah, dengan menggunakan kloroks 1% selama 1menit. Kemudian benih diangkat dan dicuci dengan menggunakan air steril selam 15 menit. Kemudian benih di angkat dengan menggunakan pinset dan ditiriskan pada kertas hisap. Kemudian benih dipisahkan bagian-bagiannya untuk mendapatkan kotiledon, kulit biji, dan embrio. Setelah itu, benih diplating kedalam cawan petri yang sebelumnya sudah berisi kertas blotter. Kemudian diinkubasi selama seminggu pada suhu ruang dan diamati jenis patogen yang muncul. 
Penularan patogen terbawa benih prtama untuk penularan virus terbawa benih yang diinokulasikan pada tanaman Nicotiana sp.yaitu pertama-tama benih atau daun digerus dalam Buffer fosfat pH 7 dengan rasio 1:10, kemudian daun dibubuhi carborondum 600 mesh untuk dilakukan inokulasi secara mekanis. Kemudian daun yang telah diinokulasi dibilas dengan air steril dan diinkubasi selama satu minggu dan diamati gejala yang muncul. Pada penularan bakteri terbawa benih, pertama-tama biakan Xantomonas oryzae dibasahi dan diaduk. Kemudian dicampurkan dengan air sterilhingga volumenya 50 ml, kemudian rendam gunting pada larutan tersebut, setelah itu potong daun padi dengan gunting yang sudah di rendam. Kemudian diinkubasi selama satu minggu dan doiamati gejala yang muncul. 
Berdasarkan hasil pengamatan patogen terbawa benih baik pada benih kedelai maupun kacang tanah, patogen dapat ditemukan pada kulit biji, kotiledon, dan embrio. Patogen yang ditemukan berasal dari golongan cendawan. Pada penularan bakteri terbawa benih masa inkubasi terjadi pada hari ke2 dan ke 4, gejala yang teramati yaitu kresek yang disebabkan oleh patogen Xantomonas oryzae. Pada penularan virus terbawa benih gejala yang teramati yaitu lesio lokal yang ditandai dengan adanya nekrosis pada awal munculnya gejala.

Metode Bioteknologi "PCR"





Polymerase Chain Reacton (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Dengan diketemukannya teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular.
Prinsp- prinsip PCR adalah komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templatDNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan enzim polimerase DNA. 

Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat; (2) denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada templat (annealing); (4) pemanjangan primer (extension) dan (5) pemantapan (postextension). Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA.  PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. 

Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers) dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20 – 40 siklus. Target DNA yang diinginkan (short ”target” product) akan meningkat secara eksponensial setelah siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier seperti tampak pada bagan di atas.

Keunggulan Pengendalian Hayati


            Secara teknis, pengendalian hayati lebih unggul dibandingkan pengendalian dengan cara kimiawi karena selain efektif dan efisien juga ramah lingkungan. Perkembangan hasil penelitian tentang berbagai agensia hayati yang bermanfaat untuk mengendalikan berbagai patogen pada tanaman, sebenarnya sudah cukup menggembirakan walaupun masih sedikit yang dapat digunakan secara efektif di lapangan. Dampak positif dari pengendalian hayati penyakit tanaman diperoleh secara berangsur-angsur dan berkesan lambat dibandingkan penggunaan pestisida.
            Cendawan endofit merupakan salah satu agen pengendali hayati yang saat ini mulai banyak dikenal oleh masyarakat. Cendawan Endofit dapat diartikan sebagai simbiosis mutualistik dengan batang, pohon, daun, rumput atau herba sebagai inangnya. Hampir semua tanaman tingkat tinggi dapat mengandung beberapa cendawan endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder. Beberapa kajian terhadap cendawan endofit terbukti memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi, baik sebagai bahan baku obat, maupun penghasil senyawa bioaktif lain yang bermanfaat dalam bidang pertanian (Lestari, 2011).
            Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman, tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tanaman inangnya. Hubungan antar mikroba endofit dengan tanaman inangnya merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisma, yaitu sebuah bentuk hubungan yang saling menguntungkan. Mikroba endofit dapat memperoleh nutrisi untuk melengkapi siklus hidupnya dari tanaman inangnya, sebaliknya tanaman inang memperoleh proteksi terhadap patogen tumbuhan dari senyawa yang dihasilkan mikroba endofit (Prihatiningtias, 2005 dalam Haniah, 2008).
            Asosiasi cendawan endofit dengan tanaman inangnya digolongkan dalam dua kelompok yaitu mutualisme konstitutif dan induktif. Mutualisme konstitutif merupakan asosiasi yang erat antara cendawan dengan tumbuhan terutama rumput-rumputan. Pada kelompok ini cendawan endofit menginfeksi ovula (benih) inang, dan penyebarannya melalui benih serta organ penyerbukan inang. Mutualisme induktif adalah asosiasi antara cendawan dengan tumbuhan inang yang penyebarannya terjadi secara bebas melalui air dan udara. Jenis ini hanya menginfeksi bagian vegetatif inang dan seringkali berada dalam keadaan metabolisme inaktif pada periode yang cukup lama (Carol, 1988 dalam Haniah, 2008). 
            Cendawan endofit yang tidak menyebabkan gejala penyakit diteliti lebih dari 300 spesies tanaman, sebagian besar dari kelas Ascomycetes (Carol, 1988 dalam Istikorini, 2008). Beberapa cendawan yang tergolong endofit adalah Acremonium, Fusarium, Trichoderma, Colletotrichum, Gliocladium, Alternaria, Beauveria, Penicillium, Mucor dan Phylosticta (Amin et al, 1997 dalam Istikorini, 2008).  Pada akar Lepanthes (Orchidaceae) ditemukan cendawan endofit Colletotrichum, Aspergillus, Penicillium, Pestalosia dan Phoma (Bayman et al, 1997 dalam Istikorini, 2008).
            Potensi cendawan endofit sebagai agen pengendali hayati, antara lain karena endofit hidup dalam jaringan tanaman sehingga dapat berperan langsung dalam menghambat perkembangan patogen dalam tanaman (Niere, 2002 dalam Istikorini, 2008). Mikroba endofit dapat melindungi tanaman inang dari serangan patogen dengan senyawa yang dikeluarkannya, berupa senyawa metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif dan dapat berfungsi untuk membunuh patogen (Prihatiningtias, 2011). Cendawan endofit dalam tanaman diketahui dapat menyebabkan berkurangnya kerusakan pada sel atau pada jaringan tanaman, meningkatkan kemampuan bertahan hidup dan fotosintesis sel jaringan tanaman yang terinfeksi patogen tular tanah (Sinclair & Cerkauskas, 1996 dalam Istikorini, 2008).
            Keberadaan cendawan endofit dapat ditemukan baik pada tanaman pertanian maupun rumput-rumputan (Faeth, 2002 dalam Istikorini, 2008). Kolonisasi cendawan endofit dapat meningkatkan senyawa fenol dalam inang, Senyawa fenol dapat menghambat patogen secara langsung atau dengan produk oksidasinya dan juga dengan meningkatkan perubahan metabolik kompleks seperti senyawa yang dapat membentuk barrier pertahanan (Agrios, 1997; Gazoni & Stegman, 1997 dalam Istikorini, 2008).
            Mekanisme penghambatan cendawan endofit terhadap patogen dapat secara langsung dengan mekanisme antagonis dan secara tidak langsung dengan mekanisme ketahanan terinduksi. Perlindungan tanaman dengan ketahanan terinduksi didasarkan pada rangsangan mekanisme ketahanan oleh adanya perubahan metabolik yang memungkinkan tanaman untuk lebih mengefektifkan ketahanannya. Diperkirakan ketahanan terinduksi dapat berkembang apabila sel-sel tanaman mampu menghasilkan enzim-enzim baru yang mengaktifkan gen tanaman yang bertanggung jawab dalam mekanisme ketahanan tanaman tersebut (Agrios, 1997 dalam Istikorini, 2008).
            Penggunaan cendawan endofit dari kelas Actinomycetes sebagai agen pengendali hayati mempunyai keuntungan yaitu kemampuannya untuk menghindari persaingan dengan sebagian besar mikroorganisme tanah dan rhizosfer karena cendawan dari kelas Actinomycetes ini hidup di dalam jaringan akar tanaman (Coombs & Franco, 2003 dalam Anugrahwati, 2011). Keberadaannya di dalam jaringan hidup tanaman selama pertumbuhan tanaman memungkinkan induksi resistensi sistemik yang dapat memberikan perlindungan yang lebih baik pada tanaman (Sturz et al, 2000; Siddiqui & Shaukat, 2002 dalam Anugrahwati, 2011).
            Salah satu contoh penggunaan cendawan endofit adalah untuk mengendalikan penyakit VSD pada tanaman kakao di pulau Sulawesi. Penelitian penggunaan musuh alami untuk mengendalikan penyakit VSD belum pernah dilakukan baik di Sulawesi, maupun di negara lainnya. Pengendalian biologi  memungkinkan untuk dilakukan, namun harus menggunakan musuh alami yang bersifat endofit untuk bisa berkompetisi di dalam jaringan tanaman. O. theobromae menginfestasi jaringan xylem sehingga bisa bertahan lama dalam jaringan tanaman. Sejumlah musuh alami yang endofit ini telah diidentifikasi pada tanaman kakao di Panama dan Brazil seperti Colletotrichum, Botryospharia, Nectria dan Trichoderma (Mejia et al., 2004; Samuel, 2004 dalam Rosmana, 2005). Di Sulawesi sendiri, identifikasi cendawan endofit sedang dilakukan dan ada beberapa isolat Trichoderma ditemukan pada biji kakao. Cendawan endofit di Panama dan di Brazil digunakan untuk mengendalikan penyakit busuk buah yang disebabkan Phytophthora sp. dan Moniliophthora serta penyakit sapu setan yang disebabkan oleh cendawan Crinepellis perniciosa. Penggunaan cendawan endofit ini mungkin dapat dilakukan melalui daun-daun terserang atau melalui penginfusan (Rosmana, 2005).         

Sumber
A. Anugrahwati, 2011, Aktifitas Actinomycetes Endofit Sebagai Bionematisida         Terhadap Meloidogyne Javanica Activity of Endophytic Actinomycetes as         Bionematicide against Meloidogyne javanica, dikutip dari    http://fp.unram.ac.id/data/Profil%20Jurusan/Jurnal%20Crop%20Agro/Jurnal%    20Crop%20Agro%20Vol%201%20No%202/6.DwiRatnaAnugrahwati-114-     122.pdf, diakses pada tanggal 29 November 2011.
B. Haniah, 2008, Isolasi Jamur Endofit Dari Daun Sirih (Piper betle L.) Sebagai       Antimikroba Terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus DAN Candida          albicans, dikutip dari             http://lib.uinmalang.ac.id/files/thesis/fullchapter/03520054.pdf, diakses pada        tanggal 21 November 2011.
C. Istikorini, 2008, Potensi Cendawan Endofit untuk Mengendalikan Penyakit          Antraknosa Pada Cabai (Capsicum annuum L.), dikutip dari             http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40844/Bab%201%202       008yis.pdf?sequence=3, diakses pada tanggal 21 November 2011.
D. Lestari, C.E, 2011, Cendawan Endofit, dikutip dari       http://epilestari.blogspot.com/2011/03/cendawan-endofit.html, diakses pada             tanggal 29 November, 2011.
D. Prihatiningtias, 2011, Prospek Mikrobia Endofit Sebagai Sumber Senyawa Bioaktif,       dikutip dari http://mot.farmasi.ugm.ac.id/artikel-55-prospek-mikroba-endofit-       sebagai-sumber-senyawa-bioaktif.html, diakses pada tanggal 23 November         2011.
E. Rosmana Ade,  2005, Vascular Streak Dieback (VSD): Penyakit Baru Pada          Tanaman Kakao Di Sulawesi, Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI Komda Sul-Sel, dikutip dari     http://www.infodiknas.com/185-vascular-streak-dieback-vsd-penyakit-baru-          pada-tanaman-kakao-di-sulawesi/, diakses pada tanggal 9 Maret 2012.

Translate