Seorang profesor, yang sedang naik daun namanya, tiba-tiba dilanda kekalutan batin dan keresahan jiwa. Ia merasa ada yang kurang dalam dirinya, sekalipun berlebihan dalam aspek karir dan income.
Tak urung, ia memutuskan untuk meninggalkan karirnya yang cemerlang di Universitas Nidzamiyah dan memburu kebutuhan lain yang
dirindukannya – jawaban yang tuntas atas keresahan dan keguncangan batinnya -. Ia jatuh sakit, mulutnya membisu, tetapi pikirannya terus bergejolak dan bergolak. Ia menyedekahkan seluruh hartanya, kecuali sedikit saja untuk keperluannya dan keluarganya. Baghdad, kota yang memberikan keharuman namanya, ia tinggalkan. Ia mengasingkan diri untuk menjawab pertanyaan besar yang sedang merisaukan hatinya – cara apakah yang dapat ditempuh hingga sampai kepada pengetahuan yang benar (al-Haqiqah al-Muthlaqah)?.
Ia berkesimpulan. Pertama, ia meamandang bahwa pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh lewat pencerapan panca indera (al-khawasul khams). Yang benar adalah yang dapat dilihat, didengar, dicium, dicicipi, atau diraba. Yang benar adalah yang terukur (al-Haqiqah At-Tajribiyyah). Dengan bergulirnya waktu, segera ia menemukan bahwa persepsi inderawi juga tidak dapat sepenuhnya dipercaya. Ia bertanya kepada dirinya – atas dasar apa harus mempercayai keterangan persepsi inderawi. Dari kejauhan matanya melihat air lewat jendela kendaraan yang dinaikinya, setelah didatanginya ternyata hanya fatamorgana. Matanya melihat bayangan tongkat itu tidak bergerak, padahal orang tahu bahwa bayangan itu bergerak perlahan sekali mengikuti bayangan matahari. Dan matahari kelihatan kecil, padahal lewat perhitungan geometris, matahari lebih besar dari bumi.
Kedua, kekeliruan indera dibetulkan oleh akal yang sehat (al-‘Aqlus Salim). Sekarang ia mencurahkan harapannya kepada akal. Tapi, ia segera membayangkan bahwa persepsi indera yang ditinggalkannya menghujatnya dengan keras: Apakah Anda tidak mengira bahwa kepercayaan Anda pada akal akan mengalami hal yang sama seperti kepercayaan Anda pada persepsi inderawi sebelumnya ?. Anda lalu mempercayai saya. Lalu, datanglah akal, dan saya terbukti salah. Kalau tidak ada akal, Anda akan selalu menganggap saya benar. Akal mendefinisikan bahwa bahagia itu berbentuk benda (materi) yang bisa dicari di tempat tertentu dan pada waktu khusus. Setelah semuanya diperoleh dan berlebih, terbukti kebahagiaan yang diburunya semakin menjauh. Akal lemah dalam menjawab pertanyaan kembarannya, untuk apa semua itu di cari?.
Ketiga, barangkali dibalik pemahaman akal, ada lagi hakim lain yang bila menampakkan dirinya, dapat menunjukkan kesalahan akal dalam menetapkan keputusan, seperti ketika akal muncul, akal memperlihatkan kekeliruan indera. Kenyataan bahwa pemahaman - supra-intelektual, supra-rasional - (indera keenam, red) itu belum muncul, tidaklah dapat dijadikan bukti bahwa hal itu tidak ada.
Akhirnya, Selama berbulan-bulan, profesor ini merenungkan masalah ini. Ia hampir-hampir putus asa. Pemecahan masalah ternyata tidak lewat berpikir dan merenung. Ia bercerita, Penyelesaian masalahku tidaklah datang karena pembuktian yang sistematis dan argumentasi yang dikemukakan, tetapi karena belum ada cahaya yang dimasukkan Allah Swt ke dalam dadaku.
Cahaya itu merupakan kunci menuju bagian pengetahuan yang lebih besar. Cahaya itu sendiri bukanlah ungkapan kebenaran. Kebenaran itu harus dicari, tetapi kini ia telah menemukan keterbatasan akal. Dia telah menguras kekuatan intelektualnya, namun berakhir dalam keputusasaan, ketika sentuhan ghaib Tuhan menyelematkannya dari kesesatan. Dorongan mendadak keimanan ini nampak olehnya berasal dari pencerahan Ilahi sebagai suatu cahaya pembawa harapan. Baginya, hal itu berarti bahwa pengetahuan manusia tentang kebenaran bergantung sekali pada sesuatu yang berada di luar logika dan aturan-aturan penalaran. Sebagai sesuatu yang lebih tinggi daripada nalar sebagai alat penghubung dengan kenyataan metafisik, mesti ada pada manusia, dan meskipun aktifitasnya bergantung pada bunga api Ilahi toh ia sendiri memampukan pencari yang gigih mencapai pengetahuan tentang kenyataan dan tentang Tuhan.
Profesor tersebut adalah sang Hujjatul Islam, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Yang meresahkannya adalah masalah epistemologi (fahmul ‘ilmi), yang mengobatinya adalah sentuhan hidayah (Nur) Ilahi. Al-Ghazali boleh disebut sebagai salah seorang pemikir Islam yang merintis kajian epistemologi dalam perspektif Islam. (dalamHilyatul Auliya, juz 11)
oleh : Sholih Hasyim