Thursday

Latar Belakang Perdagangan Bebas


Perekonomian dunia saat ini memasuki era sejarah baru dimana ekonomi dan budaya nasional serta batas-batas geografis kenegaraan sudah kehilangan makna oleh sebuah proses ‘globalisasi’ yang berjalan cepat. Globalisasi memberikan dampak berupa perubahan pada pasar internasional, salah satunya adalah liberalisasi perdagangan, yang dipandang sebagai suatu upaya untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Indonesia yang menganut perekonomian terbuka juga sangat sulit untuk mengelak dari dinamika ekonomi internasional yang semakin mengglobal ini. Konsekuensinya, pasar domestik Indonesia tidak terlepas dari gejolak pasar dunia yang semakin liberal, karena kebijakan unilateral dan ratifikasi kerjasama perdagangan internasional (regional dan global) yang harus dilakukan Indonesia.

Secara umum, perdagangan dunia didasarkan pada pemikiran bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif (absolut dan relatif) dan daya saing yang berbeda. Negara melakukan ekspor terhadap barang yang memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dan mengimpor barang yang lebih rendah keunggulan komparatifnya daripada negara lain. Dengan demikian, efisiensi penggunaan sumberdaya (yang langka) meningkat untuk mencapai tingkat kesejahteraan dunia yang lebih baik. Hal ini merupakan tesis dasar dari teori konvensional tentang perdagangan internasional (Samuelson dan Nordhaus, 1992 : 398-399). Teori ini kemudian berkembang seperti teori keunggulan daya saing (Porter, 1993) yang menjadikan harga dunia sebagai pengatur lalu lintas pertukaran barang antar negara. Semua teori perdagangan menyatakan bahwa perdagangan internasional memberikan manfaat bagi dunia (Gans, et.al, 2003: 172-178; Hardono, et.al, 2004: 78). Beberapa ekonom, seperti A.K. Cairncross, G. Haberler, J.R. Hicks dan J.S. Mill juga menyatakan beberapa manfaat yang diperoleh, terutama oleh negara berkembang, dari perdagangan internasional ini (Jhingan, 2007: 447-450). Manfaat itu antara lain terbukanya pasar dunia; biaya produksi yang rendah; meningkatkan investasi, pendapatan dan tabungan dari alokasi sumberdaya yang lebih efisien karena setiap negara akan berspesialisasi pada satu atau dua produk. Umumnya, negara berkembang memiliki pasar domestik yang lebih kecil dan produksi bahan-bahan pokok dengan teknologi sederhana. Perdagangan internasional memungkinkan terjadinya pertukaran antara produk-produk negara berkembang ini dengan negara maju yang memproduksi mesin-mesin dan produk jadi; transfer teknologi dan pengetahuan; serta bantuan modal asing.

Pemikiran di atas mendasari terbentuknya World Trade Organization, WTO oleh sebagian besar negara di dunia pada tahun 1995. Negara-negara anggota WTO sepakat untuk membuka pasar domestiknya bagi produk-produk negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan internasional yang bebas ini. Namun seiring berlalunya waktu, perdagangan internasional tidak memberikan manfaat yang seimbang antara negara maju dan negara berkembang. Perbedaan yang signifikan antara keduanya dalam hal teknologi, SDM, kebijakan domestik, modal, dan sebagainya menyebabkan perdagangan yang tidak adil bagi negara berkembang, seperti Indonesia. Negara-negara maju seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) sebagai penggagas perdagangan bebas tidak mudah membuka peluang impornya (Yusdja, 2004: 127). Menurut data FAO 2006, UE menetapkan tariff barrier yang tinggi dan waktu impor yang terbatas bagi negara-negara lain, yaitu hanya periode Maret – Agustus (Sihombing, 2006). Tingginya ’initial rate tariff’ di negara-negara maju menyebabkan produk-produk negara-negara berkembang sulit menembus pasar negara-negara maju (Malian, 2004: 135).

Selain itu, menurut Pranolo, AS (melalui Farm Bill-nya) dan negara G-10 (Jepang dan Korea Selatan) memberikan subsidi ekspor kepada petani mereka antara $56,8 - $142,2 milyar, yang sangat merugikan petani-petani di negara berkembang seperti Indonesia (Malian, 2004: 137; Sihombing, 2006). Hal ini pula yang menyebabkan negara berkembang sulit bersaing dan semakin terpuruk dalam perjanjian WTO (Sawit, 2007:200). Salah satu sektor yang masuk dalam WTO adalah sektor pertanian dengan disahkannya Agreement on Agriculture, AoA yang memiliki tiga pilar utama: market access, export promotion/subsidy, domestic support

No comments:

Translate